JAKARTA - Stepi Anriani resmi menjadi Doktor dalam bidang Ilmu Administrasi dengan predikat Cum Laude atas disertasinya yang berjudul ‘Model Collaborative Governance dalam Kebijakan Otonomi Khusus untuk Mengeliminasi Gerakan Papua Merdeka’. Acara Promosi Doktor digelar di Auditorium Edisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia secara hybrid (daring dan luring), Senin (18/4/2022) siang.
Acara promosi Doktor Stepi dimulai dengan pembacaan ringkasan disertasi oleh promovendus dengan menjelaskan mengenai latar belakang, tujuan dan manfaat dari penelitian dilakukan.
"Salah satu pekerjaan rumah pemerintah Indonesia yang belum selesai sampai saat ini ialah permasalahan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Akar permasalahan di Papua dapat dikelompokkan ke dalam tiga bidang yaitu bidang politik, bidang ekonomi-pembangunan dan bidang sosial-kemasyarakatan," ungkap Stepi.
Stepi menambahkan bahwa permasalahan kebijakan otonomi khusus (otsus) bagi Papua secara umum berada dalam level operasional (segi implementasi) yaitu aspek tata kelola. Oleh karenanya, promovendus menegaskan bahwa pendekatan collaborative governance menjadi pendekatan yang sangat penting dan dapat dilakukan untuk menganalisis masalah di level implementasi kebijakan.
“Hal ini sangat relevan dan penting untuk melakukan penelitian mengenai model collaborative governance dalam kebijakan Otsus untuk mengeliminasi Gerakan Papua Merdeka berdasarkan perspektif Ilmu Kebijakan Publik,” jelasnya.
Lebih lanjut, hasil penelitian Stepi menunjukkan bahwa kolaborasi dalam kebijakan opsus sudah sesuai dengan 6 kriteria penting dari Ansell and Gash, namun memiliki kelemahan. Berbagai upaya untuk mengeliminasi gerakan papua merdeka sudah dilakukan pemerintah meskipun belum berbentuk kerjasama yang baku.
Baca juga: Menko Airlangga Dorong UI Lahirkan Insan Kesehatan yang Melek Digital
“Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa faktor determinan yang mempengaruhi proses kolaborasi yakni dimensi starting conditions, institutional design, dan facilitative leadership mengalami banyak hambatan dan tantangan sehingga belum optimal dalam memberikan dorongan positif pada proses kolaborasi," ungkapnya.
Hasil penelitian ketiga Stepi menunjukkan bahwa model collaborative governance perlu dikembangkan lebih lanjut dikarenakan adanya tekanan dari pihak eksternal seperti state actor dan non state actor.
Selain itu, Stepi menegaskan pentingnya jaminan manajemen kolaborasi yang baik, iklim kebijakan yang mendukung, penasihat kebijakan, serta komunitas kebijakan Papua sehingga tidak mengeluarkan kebijakan reaktif dan tahapan kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik.
"Sedikitnya terdapat sepuluh aktor yang perlu dilibatkan dalam model kolaborasi ini yaitu unsur kementerian/lembaga, TNI-Polri, Orang Asli Papua, Akademisi, tokoh adat dan pemuda, tokoh agama, Gerakan Papua Merdeka, tokoh perempuan, swasta dan pemerintah daerah Papua atau disebut dexahelix actor," jelasnya.
Pada akhir penyampaian ringkasan disertasinya, Stepi memberikan rekomendasi berupa perlunya dukungan dan wadah untuk memastikan manajemen kolaborasi dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilakukan melalui empat hal.
"Pertama terkait konsepsi, yaitu perlu diawali dengan membuat Road Map atau buku putih penanganan permasalahan. Kedua, terkait kelembagaan, berdasarkan Undang-Undang No.2 tahun 2021, maka Wapres RI merupakan facilitative leader di level kepemimpinan nasional yang perlu didukung oleh facilitative leader di deaerah. Pemerintah juga dapat membuka saluran politik lokal melalui pembentukan partai politik lokal di Papua agar kelompok yang mendukung Gerakan Papua Merdeka dengan motif politik dapat terwadahi," papar Stepi.
Ketiga, yaitu terkait penguatan fungsi, Stepi merekomendasikan bahwa pemerintah perlu melibatkan non state actor dalam pembuatan kebijakan Otsus dan kebijakan turunannya sehingga Otsus menjadi milik bersama.